Anatomi Masa Lalu

Sunday 23 September 2012

Untuk tertawa, untuk menangis, untuk diam. Tertawa bagus katanya, untuk terapi mengurangi stress. Menangis juga, untuk kesehatan paru-paru dan menjernihkan mata dengan setiap tetesan air yang keluar. Untuk diam, entahlah. Mungkin bagus untuk melatih agar tidak pecah perang Bhatarayudha atau melatih agar tidak meledak bom. Untuk antisipasi; mungkin.

Perihal iya atau tidak, manusia bebas memilih atau memillah sayap mana yang akan mereka gunakan untuk terbang. Manusia bebas memilih untuk berinsang atau tidak. Manusia bebas untuk berbentuk atau tidak. Bebas untuk memilih, menentukan.
Ini mungkin dampak dari mempelajari apa yang orang pintar definisikan sebagai Sejarah. Jika tidak membicarakan manusia sebagai objek, plihan kedua dan sekaligus terakhir adalah waktu. Untuk jelasnya waktu itu seperti apa, entahlah. Dipersonifikasikan pun sulit. Entah waktu itu berkaki, bertangan, bersayap, bertubuh dan sebagainya, tak terbayangkan. Singkatnya waktu itu berdetak tak berjantung, berjalan tak berkaki. Saya gunakan kata "dampak" diatas, untuk mengerucutkan makna. Sama pengertiannya dengan kata "dampak" dalam kalimat berikut; "Dampak dari keputusan yang diambil oleh SBY petang lalu. Ibukota Jakarta di-bom habis-habisan oleh Amerika. Mampus"

Tak pernah sama sekali memikirkan akan apa yang sedang berlangsung sekarang. Melulu yang telah lalu. itu itu saja. Padahal, yang lalu biarkan berlalu. Let bygones be bygones. Jika sedang beruntung, sesekali mungkin membahas perihal kedepannya harus seperti apa, jalan apa yang harus diambil, sikap apa yang harus dilakukan untuk antisipasi. Ya memang bagus, dan juga memang penting mempelajari sejarah. Manusia bisa amnesia kalau sejarah tidak dipelajari. Tapi seberapa benar sejarah itu berlangsung. Perihal fakta dan sumbernya harus dipastikan objektifitasnya. Padahal objektifitas sebuah peristiwa atau kejadian itu lenyap bersamaan dengan selesainya peristiwa atau kejadian tersebut. Sisanya ya subjektif, berat-sebelah. Semisal, terpelas benar atau tidaknya bahwa peristiwa G30S itu oleh PKI atau tidak, yang ada dibenak manusia Indonesia siapa lagi kalau bukan PKI yang melakukan pembantaian edan-edanan tersebut. Padahal kalau mau sedikit berimajinasi, kan bisa saja malah Soeharto atau mungkin Soekarno atau mungkin bisa saja preman-preman yang melakukannya. Itu juga jika bersedia berimajinasi.

John Lenon pernah menyindir "Life is what happen to us when we are busy makes a plan". Menyindir untuk yang merasa tersindir. Untuk yang tidak mungkin apa yang John Lenon bilang cuma upil doang. Salah satu pengarang negri ini menuliskan tentang sejarah dalam salah satu karnyanya "Sejarah hanyalah Teater Ilusi, Tanya itu pada para penguasa, yang menuliskan Sejarah dengan ilusi mereka." Sudahlah hanya teater, ilusi pula. Ah, rumit memang. Tapi mau bagaimana lagi, demikian adanya.

Sekarang ibaratkan begini. Menuliskan sebait kata-kata saja; Apa gunanya? Ah moal kapake. Buat apaan sih. Bahasa Belanda heula pikiran.

Kembali kepada prioritas, kembali kepada kenyaman, kembli pada ketertarikan. Belajar ini  bukan berarti mengharamkan mempelajari itu. Ibarat Anatomi tubuh manusia, Sejarah mungkin tentang bagaimana bentuk otak, bentuuk jantung, bentuk lambung dan bentuk-bentuk tubuh lainnya, yang untuk mengetahuinya harus ada satu tubuh yang dikorbankan.

~~selow, da tulisanan ieu mah herey hungkul, Bray
hahahah

0 comments:

Post a Comment